Minggu, 25 April 2010
Mahasiswa PAI Pertanyakan NIMKO
Nomor Induk Mahasiswa Kopertais (NIMKO), merupakan tanda bukti bahwa mahasiswa sudah terdaftar di Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais). Namun mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah STIT) Sunan Giri Bima, mempetanyakannya. Apakah mereka sudah terdaftar atau belum.
Agus misalnya, mahasiswa jurusan PAI ini mengaku belum memiliki NIMKO. Sementara saat ini sudah semester IV. “Saya belum memiliki NIMKO, sementara saya sudah semester VI”, katanya di kampus beberapa waktu lalu.
Bahkan dia mengaku kadang ragu apakah namanya telah terdaftar di Dikti atau tidak. Demikian juga dengan Ibrahim. Mahasiswa semester IV ini menuturkan tak satupun mahasiswa diruangannya yang mengantongi NIMKO. Diharapkannya pihak lembaga segera menindak lanjutinya.
Sementara itu, Kepala bagian (KABAK) Akademik, Faturrahman M.Pd, menjelaskan, memang masih ada mahasiswa yang belum memiliki NIMKO. Hal itu karena saat penerimaan Mahasiswa Baru (MABA) lalu, banyak yang mendaftar dengan menggunakan surat tanda kelulusan saja.
Diakuinya, sering mengumumkan kepada mahasiswa agar segera mengumpulkan ijazah mereka. Namun kenyataannya hingga sekarang masih ada yag belum menyerahkan. Sementara pihak Kopertais tidak akan mengeluarkan NIMKO bagi mahasiswa yang tidak berijazah. “Pada saat mendaftar kemrin masih banyak mahsiswa yang menggunakan surat tanda kelulusan saja, sehingga Dikti belum memberikan NIMKO selama mahasiswa terkait beum mengumpulkan ijazahnya” jelasnya. (Ihsan)
Agus misalnya, mahasiswa jurusan PAI ini mengaku belum memiliki NIMKO. Sementara saat ini sudah semester IV. “Saya belum memiliki NIMKO, sementara saya sudah semester VI”, katanya di kampus beberapa waktu lalu.
Bahkan dia mengaku kadang ragu apakah namanya telah terdaftar di Dikti atau tidak. Demikian juga dengan Ibrahim. Mahasiswa semester IV ini menuturkan tak satupun mahasiswa diruangannya yang mengantongi NIMKO. Diharapkannya pihak lembaga segera menindak lanjutinya.
Sementara itu, Kepala bagian (KABAK) Akademik, Faturrahman M.Pd, menjelaskan, memang masih ada mahasiswa yang belum memiliki NIMKO. Hal itu karena saat penerimaan Mahasiswa Baru (MABA) lalu, banyak yang mendaftar dengan menggunakan surat tanda kelulusan saja.
Diakuinya, sering mengumumkan kepada mahasiswa agar segera mengumpulkan ijazah mereka. Namun kenyataannya hingga sekarang masih ada yag belum menyerahkan. Sementara pihak Kopertais tidak akan mengeluarkan NIMKO bagi mahasiswa yang tidak berijazah. “Pada saat mendaftar kemrin masih banyak mahsiswa yang menggunakan surat tanda kelulusan saja, sehingga Dikti belum memberikan NIMKO selama mahasiswa terkait beum mengumpulkan ijazahnya” jelasnya. (Ihsan)
STIT Sunan Giri Bima Peroleh Akreditasi B
Jika sebelumnya mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Sunan Giri Bima kuatir tentang belum terakreditasinya kampus mereka, namun sekarang semua sudah terjawab. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) Nomor: 051/Ban PT/AK-XII/S1/IV/2010, tertanggal 1 April 2010 sampai dengan 1 April 2015, STIT menyandang Akreditasi B dengan nilai 339.
Ketua Program studi (Prodi) PAI STIT Sunan Giri Bima, Syukri Abubakar, M.Ag, membenarkan kabar gembira itu. Kepada Medika menyampaikan agar mahasiswa tak memiliki keraguan lagi. “Seluruh mahasisawa PAI tidak perlu meragukan lagi masalah itu, karena kampus kita sudah terakreditasi,” imbuhnya sambil menunjukan SK akreditasi tersebut.
Syukri berharap agar mahasiswa membantu menyosialisasikan hal tersebut kepada masyarakat. Agar tidak mempertanyakan lagi, apa status kampus dengan almamater hijau tersebut.
Bagaimana reaksi mahasiswa?
“Sebelumnya saya sangat kuatir dengan belum terakreditasinya kampus ini, apalagi dengan beredarnya isu bahwa kampus yang belum terakreditasi ijazahnya tidak bisa dipakai untuk seleksi CPNS, namun sekarang saya sangat bersyukur karena kampus sudah terakreditasi,” kata Nur Eka Mahasiswi PAI, Sabtu lalu.
Haidah mahasiswi lainnya juga merasa sangat senang. “Berarti kami sudah bisa menerima ijazah kami,” ujarnya girang. (Ihsan)
Ketua Program studi (Prodi) PAI STIT Sunan Giri Bima, Syukri Abubakar, M.Ag, membenarkan kabar gembira itu. Kepada Medika menyampaikan agar mahasiswa tak memiliki keraguan lagi. “Seluruh mahasisawa PAI tidak perlu meragukan lagi masalah itu, karena kampus kita sudah terakreditasi,” imbuhnya sambil menunjukan SK akreditasi tersebut.
Syukri berharap agar mahasiswa membantu menyosialisasikan hal tersebut kepada masyarakat. Agar tidak mempertanyakan lagi, apa status kampus dengan almamater hijau tersebut.
Bagaimana reaksi mahasiswa?
“Sebelumnya saya sangat kuatir dengan belum terakreditasinya kampus ini, apalagi dengan beredarnya isu bahwa kampus yang belum terakreditasi ijazahnya tidak bisa dipakai untuk seleksi CPNS, namun sekarang saya sangat bersyukur karena kampus sudah terakreditasi,” kata Nur Eka Mahasiswi PAI, Sabtu lalu.
Haidah mahasiswi lainnya juga merasa sangat senang. “Berarti kami sudah bisa menerima ijazah kami,” ujarnya girang. (Ihsan)
Sabtu, 24 April 2010
Koleksi Minim, Banyak Buku tak Kembali
Keberadaan Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Sunan Giri Bima kerap dikeluhkan mahasiswa, karena minimnya referensi yang tersedia. Dampaknya gairah membaca kurang. Tak ada buku baru yang dapat merasangsang keinginan mambaca. Rupanya juga ada kebiasaan buruk, meminjam buku tanpa mengembalikannya.
Setiaknya itulah yang dirasakan sejumlah mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan. “Perpustakaaan yang semestinya menjadi jantung kampus, nyatanya masih jauh dari harapan,” keluh Tri mahasiswi PAI Semester IV, beberapa waktu lalu.
Selain minimnya buku, kata Tri, juga ruangan yang sempit. Akibatnya, suasana perpustakaan pun terlihat sesak.
Lantaran minimnya koleksi perpustakaan, Dhon, mahasiswa Ekonomi mengaku sering kesulitan mencari referensi tugas. Kerap kali mencari buku diperpustakaan daerah dan situs internet. Pihak kampus diharapkan menambah buku penunjang proses perkuliahan.
Kenyataan itu pun tak ditampik oleh Pegawai Perpustakaan, Makmum. Dibenarkannya kurangnya bukudi perpustakaan. Kenyataan itu juga terjadi, karena mahasiswa memimjam melewati batas waktu ditentukan. “Bahkan banyak yang tidak mengembalikannya sampai wisuda,” ujarnya.
Mahasiswa yang mendominasi meminjam buku, kata dia, dari ekstensi dan juga dosen. Diperkirakan buku yang tidak kembali bernilai Rp8 juta. Hal itu juga disebabkan aturan perpustakaan yang lemah dan direncanakan membuat aturan yang ketat.
“Sebelumnya kampus sudah membelikan cukup banyak buku diperpustakaan ini, baik untuk jurusan PAI maupun untuk jurusan umum, namun buku itu sudah berkurang karena banyak sekali yang meminjam lewat dari tanggal yang telah ditentukan dan bahkan banyak juga yang sama sekali tidak mengembalikanya,” ungkapnya.
Dihimbaunya mereka yang meminjam buku agar mengembalikannya, apalagi sudah berlangsung lama. Direncanakannya pula mengusulkan agar ada penambahan dana pengadaan buku baru. (Ihsan)
Setiaknya itulah yang dirasakan sejumlah mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan. “Perpustakaaan yang semestinya menjadi jantung kampus, nyatanya masih jauh dari harapan,” keluh Tri mahasiswi PAI Semester IV, beberapa waktu lalu.
Selain minimnya buku, kata Tri, juga ruangan yang sempit. Akibatnya, suasana perpustakaan pun terlihat sesak.
Lantaran minimnya koleksi perpustakaan, Dhon, mahasiswa Ekonomi mengaku sering kesulitan mencari referensi tugas. Kerap kali mencari buku diperpustakaan daerah dan situs internet. Pihak kampus diharapkan menambah buku penunjang proses perkuliahan.
Kenyataan itu pun tak ditampik oleh Pegawai Perpustakaan, Makmum. Dibenarkannya kurangnya bukudi perpustakaan. Kenyataan itu juga terjadi, karena mahasiswa memimjam melewati batas waktu ditentukan. “Bahkan banyak yang tidak mengembalikannya sampai wisuda,” ujarnya.
Mahasiswa yang mendominasi meminjam buku, kata dia, dari ekstensi dan juga dosen. Diperkirakan buku yang tidak kembali bernilai Rp8 juta. Hal itu juga disebabkan aturan perpustakaan yang lemah dan direncanakan membuat aturan yang ketat.
“Sebelumnya kampus sudah membelikan cukup banyak buku diperpustakaan ini, baik untuk jurusan PAI maupun untuk jurusan umum, namun buku itu sudah berkurang karena banyak sekali yang meminjam lewat dari tanggal yang telah ditentukan dan bahkan banyak juga yang sama sekali tidak mengembalikanya,” ungkapnya.
Dihimbaunya mereka yang meminjam buku agar mengembalikannya, apalagi sudah berlangsung lama. Direncanakannya pula mengusulkan agar ada penambahan dana pengadaan buku baru. (Ihsan)
Mengintip Sejarah Bima di Samparaja
Museum Samparaja Bima tak banyak dikenal, seperti museum Asi Mbojo Bima. Namun apa yang ada di museum yang didirikan oleh Hj Siti Maryam, SH, juga sarat nilai sejarah. Apa yang tidak terdapat di Museum Asi Mbojo, maka Samparaja yang melengkapinya. Seperti apa museum itu?
--FERLINA ROSA--
BIMA memiliki dua museum. Museum Asi Mbojo dan Samparaja. Lokasi kedua tempat bersejarah itu, berbeda. Museum Asi terletak di timur lapangan Serasuba atau dulunya adalah alun-alun istana. Karena bangunan yang kini menjadi museum itu, tempat kendali pusat pemerintahan kala itu. Sementara Samparaja di jalan Gajah Mada Kelurahan Monggonao Kota Bima, bangunannya bukan peninggalan masa kerajaan. Museum dikelola oleh Yayasan Museum Samparaja Bima.
Sepintas bangunan Samparaja tak memperlihatkan sebagai sebuah Museum. Selain tak ada plang nama besar, juga kerap kali tertutup. Pengunjung pun tak banyak. Sehari belum tentu ada pengunjung, kecuali ada mahasiswa datang untuk mengerjakan tugas kuliah.
Seperti terlihat Kamis (15/4) lalu, beberapa mahasiswa dari kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan dan Ilmu Keguruan (STKIP) Hamzanwadi Kampus Bima, menyambangi tempat itu. Awal datang, tak ada tanda-tanda, jika ada aktivitas di tempat itu. Karena di teras depan, tak terlihat seorang pun. Barulah saat masuk ke dalam, ada pengelolannya.
Samillah , SPdI, pengelola museum cukup senang, ketika melihat ada pengunjung saat itu. Dengan gamblang dijelaskannnya apa yang terdapat di dalam museum. Apalagi tempat ini pernah dikunjungi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD dan terkesan dengan naskah-naskah kuno.
Dikatakannya, dulu Samaparja milik pribadi Hj Siti Maryam. Kini sudah dikelola oleh satu yayasan. Bangunan itu memiliki tiga ruangan. Untuk tari-tarian, pameran dan tempat menyimpnana koleksi pribadi dan etnis-etnis Bima, seperti kitab BO yang asli. Kitab itu membahas ihwal kerajaan Bima pada abad 14 Masehi. “Kitab BO ini telah diterbitkan dalam buku yang berjudul BO Sangajikai. Catatan kerajaan Bima setebal 712 cetak Januari 2000,” terang Samaillah.
Di Museum itu juga terdepat tempat penyimpana benda-benda peninggalan kesultanan Bima. Ruangan bagian timur tersimpan baju adat tari Toja. Tarian ini diperankan oleh empat perempuan. Ada juga Baju adat Tari Kanja dan baju kebesaran Kerajaan Bima. Pakaian itu digunakan saat upacara Hanta U’a Pua. Pakaian adat gelarang dan cara adat camat kala itu, juga tersimpan.
Di ruangan sebelah barat tersimpan alat dapur dari perunggu, peralatan songket, kebaya emas yang dibuat pada abad 16. Meja sisa peninggalan Kesultanan Bima, foto Sultan Ibrahim dan Sri Sultan Ibrahim dan Sultan Muda Muhammad Salahuddin masih tersimpan. Koleksi-koleksi itu seolah mengajak mengingat bagaimana masa kerajaan dulu.
Di bagian lain ruang museum itu juga, lain, terdapat Pasapu Sutra hasil sulaman dari benang Toha Toji, Songo Waru, tulisan Arab Melayu, contoh pakaian adat pengantin, dan ceret kuningan asli sisa peninggalan Kesultanan pada abad 19 M.
Nah, tempat menyimpan Al-Quran masa Kesultanan pada abad ke 17 M pun masih utuh dan Cap dari Belanda. Banyak lagi koleksi lainnya. Di ruangan bagian selatan, tersimpan silsilah kerajaan Bima, filsafat Pemerintah Kesultanan dan foto Sultan Ibrahim (1881-1915). Alat musik tradisional Bima juga masih ada, seperti gendang dan gong. Alat musik itu biasa dimainkan pada masa kerajaan. Alat-alat rumah tangga seperti guci, piring kecil dan lainnya menjadi bagian dari koleksi museum Samparaja.
Sayang, rupanya museum ini tak hanya jarang dikunjungi masyarakat Bima. Namun, Pemerintah Daerah pun kurang memerhatikannya. Tak ayal pengelolaannya pun kurang maksimal. Mungkin karena dianggap museum yang dikelola oleh yayasan. Padahal apa yang tersimpan di dalamnya, menjadi bagian dari keberadaan Dana Mbojo ini.
Samillah pun mengakui kurangnya perhatian pemerintah. Awalnya banyak turis asing yang datang, namun lambat laun kian berkurang. Kedatangan mereka ingin mengenal lebih dekat Bima pada masa kesultanan dulu. Tentang ragam etnis di daerah ini dan benda-benda peninggalan Kesultanan. “Bahkan sudah tak ada sama sekali turis datang, tetapi sekarang museum Samparaja Bima pegunjungnya banyak dari kalangan mahasiswa,” ungkapnya.
Mahasiswa yang datang, kata dia, tak hanya berasal dari Bima, namun juga dari luar daerah. Untuk melayani kunjungan kalangan pelajar itu, pemilik museum Samparaja, Hj Siti Maryam, melengkapi salah satu ruangan dengan perpustakaan, untuk menyimpan buku-buku tentang Kerajaan Bima dan foto-foto keturunan sultan.
Museum Samparaja juga, jelasnya, berfungsi sebagai pusat informasi dan dokumentasi sejarah Kebudayaan Bima yang telah menerbitkan karya tulisan. Melestarikan kesenian klasik Bima yang hampir punah.
Namun, sayang di bagian timur, kondisi tembok retak, akibat guncangan gempa sebelumnya. Ada kekuatiran, jika kondisinya lebih parah. Hingga kini belum ada sentuhan pemerintah daerah untuk memerhatikannya. (Tugas matakuliah Tehnik Penulisan Berita Sejarah/semeester IV)
--FERLINA ROSA--
BIMA memiliki dua museum. Museum Asi Mbojo dan Samparaja. Lokasi kedua tempat bersejarah itu, berbeda. Museum Asi terletak di timur lapangan Serasuba atau dulunya adalah alun-alun istana. Karena bangunan yang kini menjadi museum itu, tempat kendali pusat pemerintahan kala itu. Sementara Samparaja di jalan Gajah Mada Kelurahan Monggonao Kota Bima, bangunannya bukan peninggalan masa kerajaan. Museum dikelola oleh Yayasan Museum Samparaja Bima.
Sepintas bangunan Samparaja tak memperlihatkan sebagai sebuah Museum. Selain tak ada plang nama besar, juga kerap kali tertutup. Pengunjung pun tak banyak. Sehari belum tentu ada pengunjung, kecuali ada mahasiswa datang untuk mengerjakan tugas kuliah.
Seperti terlihat Kamis (15/4) lalu, beberapa mahasiswa dari kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan dan Ilmu Keguruan (STKIP) Hamzanwadi Kampus Bima, menyambangi tempat itu. Awal datang, tak ada tanda-tanda, jika ada aktivitas di tempat itu. Karena di teras depan, tak terlihat seorang pun. Barulah saat masuk ke dalam, ada pengelolannya.
Samillah , SPdI, pengelola museum cukup senang, ketika melihat ada pengunjung saat itu. Dengan gamblang dijelaskannnya apa yang terdapat di dalam museum. Apalagi tempat ini pernah dikunjungi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD dan terkesan dengan naskah-naskah kuno.
Dikatakannya, dulu Samaparja milik pribadi Hj Siti Maryam. Kini sudah dikelola oleh satu yayasan. Bangunan itu memiliki tiga ruangan. Untuk tari-tarian, pameran dan tempat menyimpnana koleksi pribadi dan etnis-etnis Bima, seperti kitab BO yang asli. Kitab itu membahas ihwal kerajaan Bima pada abad 14 Masehi. “Kitab BO ini telah diterbitkan dalam buku yang berjudul BO Sangajikai. Catatan kerajaan Bima setebal 712 cetak Januari 2000,” terang Samaillah.
Di Museum itu juga terdepat tempat penyimpana benda-benda peninggalan kesultanan Bima. Ruangan bagian timur tersimpan baju adat tari Toja. Tarian ini diperankan oleh empat perempuan. Ada juga Baju adat Tari Kanja dan baju kebesaran Kerajaan Bima. Pakaian itu digunakan saat upacara Hanta U’a Pua. Pakaian adat gelarang dan cara adat camat kala itu, juga tersimpan.
Di ruangan sebelah barat tersimpan alat dapur dari perunggu, peralatan songket, kebaya emas yang dibuat pada abad 16. Meja sisa peninggalan Kesultanan Bima, foto Sultan Ibrahim dan Sri Sultan Ibrahim dan Sultan Muda Muhammad Salahuddin masih tersimpan. Koleksi-koleksi itu seolah mengajak mengingat bagaimana masa kerajaan dulu.
Di bagian lain ruang museum itu juga, lain, terdapat Pasapu Sutra hasil sulaman dari benang Toha Toji, Songo Waru, tulisan Arab Melayu, contoh pakaian adat pengantin, dan ceret kuningan asli sisa peninggalan Kesultanan pada abad 19 M.
Nah, tempat menyimpan Al-Quran masa Kesultanan pada abad ke 17 M pun masih utuh dan Cap dari Belanda. Banyak lagi koleksi lainnya. Di ruangan bagian selatan, tersimpan silsilah kerajaan Bima, filsafat Pemerintah Kesultanan dan foto Sultan Ibrahim (1881-1915). Alat musik tradisional Bima juga masih ada, seperti gendang dan gong. Alat musik itu biasa dimainkan pada masa kerajaan. Alat-alat rumah tangga seperti guci, piring kecil dan lainnya menjadi bagian dari koleksi museum Samparaja.
Sayang, rupanya museum ini tak hanya jarang dikunjungi masyarakat Bima. Namun, Pemerintah Daerah pun kurang memerhatikannya. Tak ayal pengelolaannya pun kurang maksimal. Mungkin karena dianggap museum yang dikelola oleh yayasan. Padahal apa yang tersimpan di dalamnya, menjadi bagian dari keberadaan Dana Mbojo ini.
Samillah pun mengakui kurangnya perhatian pemerintah. Awalnya banyak turis asing yang datang, namun lambat laun kian berkurang. Kedatangan mereka ingin mengenal lebih dekat Bima pada masa kesultanan dulu. Tentang ragam etnis di daerah ini dan benda-benda peninggalan Kesultanan. “Bahkan sudah tak ada sama sekali turis datang, tetapi sekarang museum Samparaja Bima pegunjungnya banyak dari kalangan mahasiswa,” ungkapnya.
Mahasiswa yang datang, kata dia, tak hanya berasal dari Bima, namun juga dari luar daerah. Untuk melayani kunjungan kalangan pelajar itu, pemilik museum Samparaja, Hj Siti Maryam, melengkapi salah satu ruangan dengan perpustakaan, untuk menyimpan buku-buku tentang Kerajaan Bima dan foto-foto keturunan sultan.
Museum Samparaja juga, jelasnya, berfungsi sebagai pusat informasi dan dokumentasi sejarah Kebudayaan Bima yang telah menerbitkan karya tulisan. Melestarikan kesenian klasik Bima yang hampir punah.
Namun, sayang di bagian timur, kondisi tembok retak, akibat guncangan gempa sebelumnya. Ada kekuatiran, jika kondisinya lebih parah. Hingga kini belum ada sentuhan pemerintah daerah untuk memerhatikannya. (Tugas matakuliah Tehnik Penulisan Berita Sejarah/semeester IV)
Jumat, 23 April 2010
Museum Asi Mbojo Minim Perhatian
Keberadaan museum Asi Mbojo Bima, tampaknya kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Penataan bangunan bersejarah itu pun jauh dari kelayakan. Minimnya anggaran menjadi sebab utama. Kenyataan itu dikatakan salah seorang pegawai Museum Asi Mbojo, Syafrudin, Selasa (13/4).
Keluhan yang dirasakan pengelola bangunan yang menyimpan benda-benda bersejarah itu, kata Syafrudin, masalah dana. Terutama bantuan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, hingga kini tak kunjung ada.
Harapannya jika anggaran dari Pemkab ada, maka beberapa bagian dari bangunan itu akan diperbaiki. Agar para pengunjung merasa nyaman ketika mendatangi monumen bersejarah itu. (Umul Kalsum/Mahasiswa PAI/Tugas Berita Matakiliah Jurnalistik)
Keluhan yang dirasakan pengelola bangunan yang menyimpan benda-benda bersejarah itu, kata Syafrudin, masalah dana. Terutama bantuan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, hingga kini tak kunjung ada.
Harapannya jika anggaran dari Pemkab ada, maka beberapa bagian dari bangunan itu akan diperbaiki. Agar para pengunjung merasa nyaman ketika mendatangi monumen bersejarah itu. (Umul Kalsum/Mahasiswa PAI/Tugas Berita Matakiliah Jurnalistik)
Benda Kerajaan Bima,Didominasi Emas dan Perak
Rupanya benda-benda kerajaan yang kini menghuni museum Asi Mbojo Bima, terbuat dari emas dan perak. Ada yang terbuat dari emas kuning, juga emas putih. Seperti tempat menyimpan lilin terbuat dari emas, golok dan senjata.
Pengelola Museum Asim Mbojo, Safrudin, SH, mengatakan benda-benda kerajaan itu kini tidak boleh dipinjamkan. Selain kepentingan upacara adat kerajaan. Ada beberapa jenis senjata yang tidak dimiliki oleh daerah atau kerajaan lain di dunia, seperti Gunti Rante. Senjata sakti yang bisa keluar sendiri, ketika mendeteksi ada musuh datang.
Selain itu, kata Safrudin, ada juga alat-alat transportasi yang masih tersimpan hingga kini, seperti benhur. Para pengunjung juga umumnya tertarik dengan pelaminan pernikahan sultan pada zaman dulu. (Nasrudin/Mahasiswa PAI/Berita Tugas Matakuliah Jurnalistik)
Pengelola Museum Asim Mbojo, Safrudin, SH, mengatakan benda-benda kerajaan itu kini tidak boleh dipinjamkan. Selain kepentingan upacara adat kerajaan. Ada beberapa jenis senjata yang tidak dimiliki oleh daerah atau kerajaan lain di dunia, seperti Gunti Rante. Senjata sakti yang bisa keluar sendiri, ketika mendeteksi ada musuh datang.
Selain itu, kata Safrudin, ada juga alat-alat transportasi yang masih tersimpan hingga kini, seperti benhur. Para pengunjung juga umumnya tertarik dengan pelaminan pernikahan sultan pada zaman dulu. (Nasrudin/Mahasiswa PAI/Berita Tugas Matakuliah Jurnalistik)
Tak Hanya Nginap, Soekarno Pinjam Senjata Saksi Kesultanan Bima
Tahukah Anda jika Presiden I Republik Indonesia (RI) Soekarno pernah menginap di Istana Bima dan meminjam beberapa senjata kerajaan? Jika Anda ke museum Asi Mbojo, tepatnya di lantai dua bagian utara, ada salah satu kamar yang pernah di tempati Sang Proklamator. Kamarnya bahkan hingga kini masih dirawat, layaknya seperti dulu.
Salah seorang pegawai Museum Asi Mbojo, Nuraini, mengatakan jika Soekarno tak hanya sehari di Bima. Kamar khusus disediakan oleh Kesultanan Bima ketika itu. Untuk mengenang ayah Megawati Sekarno Putri itu, dipasang foto di dinding kamar.
Nuraini juga mengisahkan Soekarno pernah meminjam beberapa alat perang miliki kerajaan. Salah satunya adalah Ngguti Rante. Benda ini hanya dimiliki oleh dua kerajaan, yakni Bima dan Negara Sri Langka. “Kedua kerajaan ini dulu masih ada hubungan kekeluargaan,” ungkapnya di Museum Asi Mbojo, Rabu (14/4) lalu.
Senjata itu, jelasnya, dipercaya bisa keluar sendiri ketika peperangan terjadi. Bahkan senjata itu akan kembali dengan sendirinya. Senjata sakti itu dibuat pada abad ke – 13, dari besi anti karat, hiasannya emas dan perak, sementara hulunya dari tanduk berukir. (Zaidun/Mahasiswa PAI/Tugas Matakuliah Jurnalistik)
Salah seorang pegawai Museum Asi Mbojo, Nuraini, mengatakan jika Soekarno tak hanya sehari di Bima. Kamar khusus disediakan oleh Kesultanan Bima ketika itu. Untuk mengenang ayah Megawati Sekarno Putri itu, dipasang foto di dinding kamar.
Nuraini juga mengisahkan Soekarno pernah meminjam beberapa alat perang miliki kerajaan. Salah satunya adalah Ngguti Rante. Benda ini hanya dimiliki oleh dua kerajaan, yakni Bima dan Negara Sri Langka. “Kedua kerajaan ini dulu masih ada hubungan kekeluargaan,” ungkapnya di Museum Asi Mbojo, Rabu (14/4) lalu.
Senjata itu, jelasnya, dipercaya bisa keluar sendiri ketika peperangan terjadi. Bahkan senjata itu akan kembali dengan sendirinya. Senjata sakti itu dibuat pada abad ke – 13, dari besi anti karat, hiasannya emas dan perak, sementara hulunya dari tanduk berukir. (Zaidun/Mahasiswa PAI/Tugas Matakuliah Jurnalistik)
Langganan:
Postingan (Atom)