Lintas Ruang

Sabtu, 24 April 2010

Mengintip Sejarah Bima di Samparaja

Museum Samparaja Bima tak banyak dikenal, seperti museum Asi Mbojo Bima. Namun apa yang ada di museum yang didirikan oleh Hj Siti Maryam, SH, juga sarat nilai sejarah. Apa yang tidak terdapat di Museum Asi Mbojo, maka Samparaja yang melengkapinya. Seperti apa museum itu?

--FERLINA ROSA--

BIMA memiliki dua museum. Museum Asi Mbojo dan Samparaja. Lokasi kedua tempat bersejarah itu, berbeda. Museum Asi terletak di timur lapangan Serasuba atau dulunya adalah alun-alun istana. Karena bangunan yang kini menjadi museum itu, tempat kendali pusat pemerintahan kala itu. Sementara Samparaja di jalan Gajah Mada Kelurahan Monggonao Kota Bima, bangunannya bukan peninggalan masa kerajaan. Museum dikelola oleh Yayasan Museum Samparaja Bima.
Sepintas bangunan Samparaja tak memperlihatkan sebagai sebuah Museum. Selain tak ada plang nama besar, juga kerap kali tertutup. Pengunjung pun tak banyak. Sehari belum tentu ada pengunjung, kecuali ada mahasiswa datang untuk mengerjakan tugas kuliah.
Seperti terlihat Kamis (15/4) lalu, beberapa mahasiswa dari kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan dan Ilmu Keguruan (STKIP) Hamzanwadi Kampus Bima, menyambangi tempat itu. Awal datang, tak ada tanda-tanda, jika ada aktivitas di tempat itu. Karena di teras depan, tak terlihat seorang pun. Barulah saat masuk ke dalam, ada pengelolannya.
Samillah , SPdI, pengelola museum cukup senang, ketika melihat ada pengunjung saat itu. Dengan gamblang dijelaskannnya apa yang terdapat di dalam museum. Apalagi tempat ini pernah dikunjungi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD dan terkesan dengan naskah-naskah kuno.
Dikatakannya, dulu Samaparja milik pribadi Hj Siti Maryam. Kini sudah dikelola oleh satu yayasan. Bangunan itu memiliki tiga ruangan. Untuk tari-tarian, pameran dan tempat menyimpnana koleksi pribadi dan etnis-etnis Bima, seperti kitab BO yang asli. Kitab itu membahas ihwal kerajaan Bima pada abad 14 Masehi. “Kitab BO ini telah diterbitkan dalam buku yang berjudul BO Sangajikai. Catatan kerajaan Bima setebal 712 cetak Januari 2000,” terang Samaillah.
Di Museum itu juga terdepat tempat penyimpana benda-benda peninggalan kesultanan Bima. Ruangan bagian timur tersimpan baju adat tari Toja. Tarian ini diperankan oleh empat perempuan. Ada juga Baju adat Tari Kanja dan baju kebesaran Kerajaan Bima. Pakaian itu digunakan saat upacara Hanta U’a Pua. Pakaian adat gelarang dan cara adat camat kala itu, juga tersimpan.
Di ruangan sebelah barat tersimpan alat dapur dari perunggu, peralatan songket, kebaya emas yang dibuat pada abad 16. Meja sisa peninggalan Kesultanan Bima, foto Sultan Ibrahim dan Sri Sultan Ibrahim dan Sultan Muda Muhammad Salahuddin masih tersimpan. Koleksi-koleksi itu seolah mengajak mengingat bagaimana masa kerajaan dulu.
Di bagian lain ruang museum itu juga, lain, terdapat Pasapu Sutra hasil sulaman dari benang Toha Toji, Songo Waru, tulisan Arab Melayu, contoh pakaian adat pengantin, dan ceret kuningan asli sisa peninggalan Kesultanan pada abad 19 M.
Nah, tempat menyimpan Al-Quran masa Kesultanan pada abad ke 17 M pun masih utuh dan Cap dari Belanda. Banyak lagi koleksi lainnya. Di ruangan bagian selatan, tersimpan silsilah kerajaan Bima, filsafat Pemerintah Kesultanan dan foto Sultan Ibrahim (1881-1915). Alat musik tradisional Bima juga masih ada, seperti gendang dan gong. Alat musik itu biasa dimainkan pada masa kerajaan. Alat-alat rumah tangga seperti guci, piring kecil dan lainnya menjadi bagian dari koleksi museum Samparaja.
Sayang, rupanya museum ini tak hanya jarang dikunjungi masyarakat Bima. Namun, Pemerintah Daerah pun kurang memerhatikannya. Tak ayal pengelolaannya pun kurang maksimal. Mungkin karena dianggap museum yang dikelola oleh yayasan. Padahal apa yang tersimpan di dalamnya, menjadi bagian dari keberadaan Dana Mbojo ini.
Samillah pun mengakui kurangnya perhatian pemerintah. Awalnya banyak turis asing yang datang, namun lambat laun kian berkurang. Kedatangan mereka ingin mengenal lebih dekat Bima pada masa kesultanan dulu. Tentang ragam etnis di daerah ini dan benda-benda peninggalan Kesultanan. “Bahkan sudah tak ada sama sekali turis datang, tetapi sekarang museum Samparaja Bima pegunjungnya banyak dari kalangan mahasiswa,” ungkapnya.
Mahasiswa yang datang, kata dia, tak hanya berasal dari Bima, namun juga dari luar daerah. Untuk melayani kunjungan kalangan pelajar itu, pemilik museum Samparaja, Hj Siti Maryam, melengkapi salah satu ruangan dengan perpustakaan, untuk menyimpan buku-buku tentang Kerajaan Bima dan foto-foto keturunan sultan.
Museum Samparaja juga, jelasnya, berfungsi sebagai pusat informasi dan dokumentasi sejarah Kebudayaan Bima yang telah menerbitkan karya tulisan. Melestarikan kesenian klasik Bima yang hampir punah.
Namun, sayang di bagian timur, kondisi tembok retak, akibat guncangan gempa sebelumnya. Ada kekuatiran, jika kondisinya lebih parah. Hingga kini belum ada sentuhan pemerintah daerah untuk memerhatikannya. (Tugas matakuliah Tehnik Penulisan Berita Sejarah/semeester IV)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar